Akuratmedianews.com — Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menggelar seminar nasional di gedung kuliah bersama 2 lantai 5 Umsida, Sidoarjo pada senin (21/4/2025). Kegiatan ini bertajuk pembaharuan rancangan Undang-Undang kitab Undang-Undang hukum acara pidana dan masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Dan, kegiatan ini menghadirkan para akademisi dan praktisi hukum ternama dari berbagai perguruan tinggi membahas tentang arah dan urgensi reformasi RUU KUHAP.
Dalam paparannya, Prof. Dr. Sri Winarsih dari Universitas Airlangga menekankan bahwa pentingnya diferensiasi fungsional antara institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
“RUU KUHAP terbaru sudah memuat pembagian tugas dan kewenangan secara normatif. Namun, tantangannya adalah bagaimana diferensiasi fungsional ini diterapkan secara nyata dalam praktik penegakan hukum,” ujarnya.
Prof. Sri menyampaikan bahwa diferensiasi fungsional yang jelas dapat mendorong transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas, serta menjadi jawaban atas problematika seperti kriminalisasi selektif dan tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum.
Sementara itu, Dr. Radian Salman menyatakan bahwa pembaruan KUHAP tidak semata karena undang-undang lama sudah usang, melainkan karena kebutuhan konstitusional untuk menjamin hak asasi manusia.
“Konstitusi telah menegaskan peran negara dalam melindungi, memenuhi, dan menegakkan HAM. Kuhap lama belum mengakomodasi prinsip tersebut secara utuh,” tegas Radian.
Radian menjelaskan bahwa pembaruan KUHAP harus diletakkan dalam kerangka negara hukum berdasarkan UUD 1945, di mana prinsip due process of law dan pembagian kewenangan penegakan hukum harus ditegakkan.
“KUHAP baru menjadi momentum untuk memperkuat institusi penegak hukum sesuai amanat konstitusi,” jelasnya.
Senada, Dr. Prawitra Thalib menegaskan bahwa pentingnya kontrol kekuasaan melalui pembagian wewenang yang tegas.
“Jika penyelidikan, penuntutan, dan pemutusan perkara dilakukan oleh satu pihak, ini berbahaya. KUHAP baru harus menjamin adanya pendistribusian kekuasaan untuk menghindari potensi penyalahgunaan,” tegas Prawitra.
Prawitra mengungkapkan, soal implementasi keadilan restoratif yang kini mulai diakomodasi dalam Ruu Kuhap.
“Konsep ini perlu diterapkan secara tepat, tidak hanya untuk pelaku dan korban, tetapi juga mempertimbangkan keadilan bagi penegak hukum,” tukasnya.
Dalam sesi diskusi, pembicara juga mengangkat peran kejaksaan sebagai koordinator antar-lembaga penegak hukum, serta urgensi lembaga pemeriksaan pendahuluan oleh hakim sebagai pengganti praperadilan untuk menilai sah atau tidaknya suatu penyidikan dalam waktu tiga hari.