Akuratmedianews.com – Jumlah kasus perceraian masih tinggi hingga Maret 2025. Faktor utama yang mengakibatkan perceraian di wilayah ini adalah perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga.
Hal tersebut disampaikan oleh Pranata Muda Gugatan Setianto saat diwawancarai oleh wartawan Akurat Media News, Jumat (21/3/2025).
“Faktor utama perceraian tetap perselisihan dan pertengkaran. Banyak pasangan yang tidak bisa menyelesaikan konflik rumah tangga, sehingga memilih berpisah,” ujarnya.
Setianto mengatakan bahwa dibandingkan dengan bulan sebelumnya, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Sidoarjo mengalami penurunan.
“Pada Februari 2025, jumlah perkara yang diterima mencapai sekitar 510 kasus, sementara pada Maret, jumlahnya turun menjadi sekitar 280 kasus per 20 Maret,” kata Setianto.
“Penurunan ini bisa jadi karena bulan Ramadan, di mana biasanya masyarakat lebih menahan diri,” tambahnya.
Setianto menjelaskan bahwa jumlah perceraian tetap mendominasi dibandingkan perkara lainnya, seperti poligami, penetapan waris, harta bersama, dan isbat nikah.
“Selain perselisihan dan pertengkaran, ada dua faktor lain yang turut menjadi penyebab utama perceraian di Sidoarjo, yaitu ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah. Karena Banyak kasus pertengkaran dalam rumah tangga dipicu oleh suami yang tidak bekerja atau tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga,” jelas dia.
“Salah Satu Pasangan Meninggalkan Rumah. Banyak pasangan yang memilih berpisah dengan meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas, yang akhirnya berujung pada gugatan cerai,” imbuhnya.
Menurut Setianto, dalam kasus tertentu, ada juga alasan lain seperti perubahan keyakinan (murtad), meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dua faktor utama di atas.
Ia pun menegaskan bahwa pengadilan Agama Sidoarjo terus berupaya menekan angka perceraian dengan mengedepankan proses mediasi sebelum keputusan cerai diberikan.
“Mediasi selalu menjadi upaya utama dalam menyelesaikan perkara. Jika memungkinkan, pasangan diarahkan untuk berdamai dan mempertahankan rumah tangga,” tukas Setianto.
Lebih lanjut, kata Setianto, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan mediasi, terutama jika ada unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2023, pengajuan perceraian bisa dilakukan setelah pasangan berpisah selama minimal enam bulan. Namun, jika kasusnya melibatkan KDRT, gugatan bisa langsung diajukan meski belum mencapai enam bulan,” sebut dia.
Setianto juga menyoroti dampak perceraian terhadap anak. Menurutnya, dalam setiap putusan, hakim tetap mempertimbangkan hak-hak anak, termasuk pemberian nafkah dari pihak yang berkewajiban.
“Hak anak tetap diperhatikan. Meskipun ibu yang mengajukan cerai tidak meminta nafkah, hakim tetap akan mempertimbangkan kepentingan anak,” terangnya.
Setianto berharap masyarakat lebih mempertimbangkan keutuhan rumah tangga sebelum mengambil keputusan untuk bercerai.
“Perceraian seharusnya menjadi pilihan terakhir, karena yang paling dirugikan adalah anak-anak. Mereka yang harus menanggung akibat dari perpisahan orang tua,” harap dia.
“Dengan berbagai upaya yang dilakukan, diharapkan angka perceraian di Kabupaten Sidoarjo bisa terus ditekan, dan keluarga-keluarga dapat mencari solusi terbaik sebelum memilih jalur hukum,” pungkasnya.