( Wakil Sekretaris DPC PPP Kabupaten Jember )
Akurat Media News – Menunggu hasil keputusan sidang formatur DPW PPP jawa timur dalam menyusun kepengurusan baru DPW PPP jawa timur yang sudah hampir mencapai batas waktu 20 hari dari waktu yang ditentukan tentunya penuh dinamika, apakah nanti Nakhoda baru PPP Jawa timur masih figur lama tapi berprestasi dan mendapatkan dukungan penuh DPC PPP se jawa timur ataukah figur baru tapi tokoh lama yang kabarnya mendapatkan dukungan penuh dari DPP PPP.
hal ini menggugah saya sebagai kader PPP untuk menulis masa depan PPP dalam menatap Pemilu yang akan datang, karena bagi saya siapapun yang akan Menakhodai DPW PPP jawa timur lima tahun mendatang saya yakin adalah kader – kader terbaik PPP, oleh karena itu saya hanya berharap PPP akan tetap eksis pada Pemilu yang kan datang,karena dengan sistem Pemilu saat ini berat rupanya bagi partai – partai menengah ke bawah untuk bisa Lolos pada Pemilu yang akan datang,
saya mencoba membaca sejarah perjalanan PPP sepanjang masa, yaitu,
PPP yang dideklarasikan pada tanggal 5 januari 1973, sebagai hasil fusi empat partai Islam ( NU, Parmusi, PSII, dan Perti) empat tahun berikutnya tepatnya di tahun 1977 PPP untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu, yang di selenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977 dari 703.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu PPP berhasil meraih 18.743.491 suara atau 29,3 persen, dengan perolehan suara ini PPP berhak mendapatkan 99 kursi, merupakan capaian kursi terbesar sepanjang sejarah PPP mengikuti Pemilu sampai saat ini,
kemudian pada Pemilu – Pemilu berikutnya perolehan suara PPP semakin menurun. Hal ini karena bukan saja akibat intimidasi, manipulasi, dan rekayasa dalam setiap penyelenggaraan Pemilu oleh pemerintahan orde baru, namun juga di akibatkan oleh perubahan ideologis yang di alami PPP dan konflik internal PPP itu sendiri seperti pada Pemilu tahun 1982 suara PPP mengalami penurunan sekitar 1,5 persen, atau mendapatkan suara sah sebesar 27,8 persen
Dan yang paling sulit bagi PPP yaitu pada Pemilu 1987.
Menurut Pengamat Politik Syamsuddin Haris paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan pada Pemilu 1987 PPP mengalami penurunan drastis, Pertama, penetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua kekuatan sosial politik, bagi PPP yang dua kali mengikuti Pemilu sebelumnya yaitu di tahun 1977 dan tahun 1982 dengan berasaskan Islam maka dengan di tetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal secara politis dan psikologis sangat mempengaruhi perilaku para elite partai baik dalam perilaku politik maupun dalam program partai.
Ke-dua, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap politik NU yang melepaskan ikatan politiknya dengan PPP, di mana pada Muktamar NU yang ke 27 di situbondo tahun 1984 NU telah memutuskan untuk kembali ke khittoh 1926 yang berarti bahwa NU telah kembali ke eksistensinya sebagai jam’iyah, sehingga tidak terikat dengan partai politik manapun termasuk ke PPP. Maka dengan demikian dapat dipastikan suara PPP pada Pemilu 1987 tersebut yang di selenggarakan pada tanggal 23 April 1987 terjun bebas sehingga PPP kehilangan 12 persen suara dari Pemilu sebelumnya, dengan demikian PPP kehilangan 33 kursi, ahirnya PPP hanya mendapatkan 61 kursi, karena perolehan suara PPP hanya 16,0 persen, karena itu menurut pengamat politik dari Ohio University Amerika Serikat William Liddle mengamati hasil pemilu tahun 1987 di mana PPP turun tajam suaranya ini menurutnya harus di lihat sebagai kemenangan pemerintah orde baru dan NU. Dan lima tahun kemudian tepatnya tanggal 9 Juni 1992 PPP ternyata lagi – lagi masih mengalami penurunan suara walaupun masih bisa menaikkan perolehan kursinya sebanyak 1 kursi yaitu dari 61 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada hasil Pemilu 1992 dan secara prosentase perolehan suara PPP bertahan pada 16,0 persen persis sama dengan hasil Pemilu sebelumnya,
menurut pengamat politik Riswanda Imawan pada pemilu 1992 ini sudah muncul para pemilih yang berkwalitas dan sadar dengan demokrasi, dengan ditandai oleh tiga hal, Pertama, untuk pertama kalinya Golkar mengalami penurunan suara yang cukup besar, Kedua, munculnya indikasi menguatnya kembali garis – garis politik lama atau garis politik yang terbentuk tahun 1950 – an,
Ketiga, ada indikator para pemilih tradisionais di pedesaan semangkin cerdas dan mulai sadar akan hak – hak politiknya sehingga Semangkin sulit di mobilisasi oleh kekuatan- kekuatan politik manapun.
Dan pada tahun 1997 barangkali merupakan tahun puncak kejenuhan kekuasaan orde baru sehingga ini berimplikasi pada perolehan suara PPP pada Pemilu 1997 di mana PPP perolehan kursinya meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi di bandingkan pada hasil Pemilu 1992. Karena PPP berhasil mendapatkan suara 22.0 persen. Namun tidak sampai setahun dari Pemilu 1997 tiba – tiba timbul arus Reformasi yang luar biasa sehingga menyebabkan jatuhnya Pemerintahan Presiden Suharto, karena secara tiba – tiba pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto lengser keprabon, hal ini berakibat pergantian kekuasaan dari Suharto kepada Habibi selaku Wakil Presiden menjadi Presiden, maka dengan demikian ahirnya atas desakan publik Pemilu harus dipercepat untuk memperoleh kepemimpinan nasional yang lebih representatif, maka pada tanggal 7 Juni 1999 atau sekitar 13 Bulan dari masa pemerintahan Habibi Pemilu di laksanakan, tentunya setelah tiga Rencana Undang – Undang yaitu RUU tentang Partai Politik , RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD di setujui dan disyahkan oleh DPR. sejalan dengan di bukanya kran arus demokratisasi dan tuntutan reformasi yang memungkinkan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik,maka peserta Pemilu kali ini sampai terdiri dari 48 partai dari 141 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Meskipun masa persiapannya singkat, pelaksanaan Pemilu 1999 ini tergolong Sukses karena bisa terlaksana dengan damai tampa ada kekacauan yang berarti walaupun multi partai tidak seperti yang di kawatirkan banyak pihak, puncaknya pada tanggal 1 September 1999 , lima partai besar memborong 417 kursi Parlemen atau 90,26 persen dari 462 kursi yang di perebutkan, sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen.dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen mendapatkan 51 kursi, dan PPP dengan 11.329.904 suara atau 10,71 persen mendapatkan 58 kursi dan terahir PAN yang meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 Kursi. Perolehan suara PPP pada pemilu 1999, Pemilu pertama di era reformasi adakah perolehan suara tertinggi dari PPP bila dibandingkan dengan Pemilu – Pemilu selanjutnya pada 2004, 2009, 2014:dan 2019.
Perolehan suara PPP 10,71 persen tampaknya tidak dapat bertahan lama, karena pada Pemilu selanjutnya di tahun 2004 justru suara PPP menurun 2,5 persen. Pemilu 2004 untuk kedua kalinya Negara kita mengadakan pesta demokrasi pasca reformasi dan kali ini diikuti oleh 24 Partai politik.Dan untuk pertama kalinya juga Indonesia menggelar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.Maka pada Pemilu 2004 berlangsung dalam tiga tahap, tahap pertama pemilu legislatif adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Tahap kedua Pemilu presiden putaran pertama. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004. Tahap ketiga, Pemilu presiden putaran kedua. Tahap ketiga ini di laksanakan pada tanggal 20 September 2004.
Pada Pemilu legislatif. Perolehan suara PPP di tingkat nasional mencapai 8,15 persen,yang artinya mengalami penurunan di banding dengan perolehan suara dalam Pemilu 1999 Pemilu pertama di era reformasi yang mendapatkan 10,71 persen, dan walaupun mengalami penurunan suara tetapi berdasarkan penghitungan PPP masih Bisa bertahan pada 58 kursi pada saat itu, melihat perolehan Suara PPP yang mengalami penurunan menurut Muhammad Qodari Direktur Lembaga Survei Indonesia ( LSI) perolehan suara PPP termakan oleh PBR, partai pecahan PPP yang di pimpin oleh ulama karismatik dan Dai Kondang Zainuddin MZ. Dalam Survei LSI PBR mendapatkan suara 1,7 persen suara.
Pada pemilu 2009 lagi – lagi perolehan PPP turun 3 persen, sehingga tinggal 5,33 persen, PPP tercecer di urutan ke – 6 , di bawah partai Demokrat yang mendapatkan 20,81 persen. Penurunan perolehan suara yang sangat signifikan pada pemilu 2004 dan 2009, sebanyak 2 juta dan 3,37 juta suara PPP lenyap. Sementara itu, pada Pemilu 2014 PPP relatif beruntung karena mengalami kenaikan suara sebanyak 2,6 juta suara dengan total dukungan sekitar 8,1 juta pemilih.
Dan pada Pemilu 2019 Alhamdulillah PPP masih lolos dengan memperoleh suara 6,323.147 atau 4,52 persen. Mampu melewati PT yang di tetapkan 4 persen..lalu bagaimana pada pemilu yang akan datang tahun 2024 yang rencananya PT di naikkan jadi 5 persen akankah PPP masih bisa lolos..?
Karena dari data perolehan suara PPP pada Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019 ET/ PT menunjukkan bahwa jarak paling lebar antara perolehan suara PPP dengan ET terjadi pada masa Pemilu 1999 dan 2004 karena persentase ET yang kecil yaitu 2,5 persen. Sementara itu, ketika terjadi perubahan konsep dari ET ( electoral Threshold) menjadi PT ( Parlementary Threshold) dan besaran persentasenya di naikkan menjadi 3 persen pada Pemilu 2009, dan 3,5 persen pada Pemilu 2014 serta 4 persen pada Pemilu 2019 serta rencananya akan di tingkatkan lagi hingga menjadi 5 persen pada Pemilu 2024 kalau PPP tidak menata diri sebagai partai politik yang modern, besar kemungkinan eksistensi PPP berada di ujung tanduk karena ambang batas parlemen yang aman bagi PPP sebenarnya berada pada kisaran 3-3,5 persen. Lebih dari itu misalnya 4-5 persen, eksistensi PPP justru akan terancam, selain itu, dari basis politik provinsi yang sudah terbukti selama lima kali pemilu Paska Reformasi ( Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019) dan data dukungan politik sejak pemilu era orde baru, di mana PPP telah memiliki basis di antara 22 – 23 provinsi sebagai basis daerah pemilihan pemilu. Basis dukungan ini relatif stabil dan ini harus betul – betul di jaga oleh PPP. Merawat basis politik menjadi suatu keharusan bagi PPP ketimbang terlibat konflik internal yang tidak cerdas. Selain itu masa depan PPP Juga ditentukan oleh persepsi pemilih Islam terhadap partai ini. Sejauh mana PPP memiliki tempat di hati para pemilih Islam terutama para Kalangan muda melenial jangan sampai ada persepsi atau stikma bahwa PPP adalah partainya orang tua – tua saja, padahal pada pemilu yang akan datang sebagai bonus demografi para pemilih terbanyak dari kalangan milenial, oleh karena itu PPP harus bisa menjadi tempat bernaung bagi politisi – politisi muda Islam yang sedang berproses mencari jati diri politik. Dan yang terahir PPP harus terlepas dari pengaruh politik personal yang justru akan merugikan partai dalam mendorong branding partai yang lebih membumi dan dapat masuk ke ranah komunitas umat Islam yang sedang berubah.
Wallahu Akhlam Bissawab
4.5
4.5