banner 728x250

Tolak Usulan Kembali Ke UUD 1945 Naskah Asli

  • Bagikan
Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H, Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Istimewa)
banner 780X90

Oleh Hananto Widodo *)

Belum selesai kegaduhan terkait dugaan ijazah palsu Jokowi, kini public kembali disibukkan oleh pergerakan dari para purnawirawan TNI. Pergerakan dari TNI ini tidaklah main-main, karena salah satu dari purnawirawan itu adalah mantan Wapres Try Sutrisno. Dari beberapa usulan yang disampaikan oleh forum purnawirawan TNI itu antara lain dan mengundang kontroversi adalah kembali pada UUD 1945 naskah asli dan pemberhentian Wapres Gibran Rakabuming, karena pencalonannya dianggap cacat secara hukum.

Usulan untuk kembali pada UUD 1945 naskah asli merupakan usulan yang basi. Entah sudah berapa kali sekelompok orang yang terus menerus menggaungkan aspirasinya agar negara Indonesia kembali pada UUD 1945 naskah asli. Pernyataan mereka yang ingin agar memberlakukan kembali UUD 1945 naskah asli secara langsung merupakan bentuk penolakan terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan.

Mereka selalu mengatakan, kalau carut marutnya kondisi bangsa ini, disebabkan karena UUD Tahun 1945 hasil perubahan yang menjadi penyebab utamanya. Cara berpikir yang cenderung mensimplifikasi persoalan. Pertanyaannya apakah korelasinya antara berlakunya UUD 1945 hasil perubahan dengan carut marutnya kondisi bangsa ini ?

Apakah mereka lupa bahwa UUD 1945 naskah asli telah melahirkan dua pemimpin otoriter, yakni Soekarno dengan jargon demokrasi terpimpin dan Soeharto yang dengan jargon melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apa hasil dari pemerintahan dari kedua rezim ini, yakni Orde Lama dan Orde Baru ? Apakah kebaikan atau keburukan ?

Apakah para purnawirawan TNI itu berkehendak agar Indonesia kembali dipimpin oleh Presiden yang memiliki kekuasaan tanpa batas seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru ? Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru merupakan bukti buruknya proses demokrasi di Indonesia akibat dari berlakunya UUD 1945 naskah asli. Oleh karena itu, kembali pada UUD 1945 naskah asli, maka sama dengan merusak demokrasi di Indonesia.

Jika ada yang membantah bahwa UUD 1945 naskah asli bukan merupakan akar dari lahirnya pemimpin yang otoriter, maka marilah kita kembali pada teori ketatanegaraan yang berlaku. Secara teoritik, UUD mengatur mengenai dua hal, yakni terkait pemisahan/pembagian kekuasaan dan Hak asasi manusia. Pertanyaannya, apakah terdapat pemisahan kekuasaan atau check and balances dalam UUD 1945 naskah asli ? Jawabannya adalah tidak ada.

UUD 1945 naskah asli tidak mengenal adanya pemisahan kekuasaan atau check and balances. Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan bukti secara tekstual bahwa UUD 1945 naskah asli tidak mengenal adanya pemisahan kekuasaan atau check and balances.

Para pengusul kembalinya pada UUD 1945 naskah asli selalu menggaungkan bahwa UUD 1945 hasil perubahan bercorak liberal. Dengan demikian, tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Keberadaan MPR merupakan penciri dari demokrasi Indonesia yang berasaskan musyawarah dan mufakat dalam hal pengambilan Keputusan.

Kita terlalu letih dengan perdebatan yang tidak bermutu terkait dengan apakah UUD sesuai dengan kepribadian bangsa atau tidak. Mengapa kita tidak kembali pada hakikat dari konstitusi? Bukankah pemerintahan yang konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan dibatasi? Apakah UUD 1945 naskah asli mengandung nilai-nilai pembatasan terhadap kekuasaan negara?

UUD 1945 naskah asli tentu kurang dalam melakukan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan frasa “semangat penyelenggara negara,” yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945. Menurut UUD 1945 naskah asli yang paling penting adalah semangat para penyelenggara negara, semangat pemimpin negara. Oleh karena itu, baik tidaknya suatu negara akan sangat tergantung pada semangat dari penyelenggara negara.

Tentu ini merupakan hal yang konyol, jika kita terlalu percaya dengan semangat penyelenggara negara. Karena tidak ada satu pimpinan negara di dunia akan menjadi baik-baik saja tanpa adanya control yang jelas. Konsep semangat penyelenggara negara ini merupakan hipotesis dari perspektif negara integralistik dari Soepomo yang berusaha untuk menghapus kecurigaan warga terhadap pemimpinnya.

Dalam perspektif negara integralistik, pemimpin tidak mungkin akan mencelakai warganya, karena antara pemimpin dan warganya merupakan satu kesatuan, di mana antara pemimpin dan warga tidak mungkin saling menyakiti. Jika kita menyodorkah sebuah hipotesis bahwa tanpa adanya control, pemerintahan bisa berjalan dengan baik, maka hipotesis tersebut merupakan hipotesis yang tidak realistis.

Liberalisasi di bidang ketatanegaraan berupa lahirnya banyak lembaga-lembaga independent seperti KPU, KPK, Bawaslu dan banyak yang lainnya merupakan keniscayaan. Liberalisasi semacam ini tidak mungkin lagi kita halau, karena keberadaan dari lembaga independent ini merupakan konsekuensi dari perubahan iklim demokrasi secara global. Jika kita kembali pada UUD 1945 naskah asli, maka lembaga-lembaga independent akan sulit berkembang dan lembaga peradilan seperti MK yang memiliki kewenangan untuk menjaga Marwah konstitusi tentu juga akan menghilang.

Kalau memberikan kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang dan kewenangan lainnya dari MK ke MPR, maka ini bukan merupakan ide yang bagus. MPR dan MK merupakan dua entitas yang berbeda. MK merupakan lembaga pengadilan yang memang bertugas untuk menyelesaikan kasus kasus ketatanegaraan, sedangkan MPR merupakan lembaga politik yang tentu tidak kompeten jika diberikan kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum.

*) Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H, Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

banner 780X90
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *