banner 728x250

Mengapa Masyarakat Sulit Membedakan Media Massa dan Media Sosial?

  • Bagikan
Pemimpin redaksi Radar Tuban Ahmad Athoillah saat menjadi salah satu narasumber dialog interaktif. (Foto : Wiyono)
banner 780X90

Tuban – Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, ternyata tak diimbangi dengan pengetahuan atau pemahaman masyarakat yang memadai. Informasi yang berseliweran, kerap ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan kemudian diyakini. Ini mengemuka dalam dialog interaktif yang digelar RPS di Radio Pradya Suara Tuban.

‘’Padahal tidak boleh seperti itu. Itu sangat berbahaya. Ini karena masyarakat sekarang masih tidak bisa membedakan mana media masa dan mana media sosial, karena kurangnya literasi,’’ ujar Pemimpin redaksi Radar Tuban Ahmad Athoillah saat menjadi salah satu narasumber dialog.

Memeringati Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2025, perkumpulan wartawan yang tergabung dalam Ronggolawe Press Solidarity (RPS) menggelar dialog interakif dan tumpengan, pada Senin (10/2/2025).

Dialog Interaktif atau Radio Show digelar di LPPL Pradya Suara, Radio Pradya Suara 94,6 FM dengan mengambil tema ‘Fenomena Literasi dan Kebiasaan Mencari Informasi di Era Figital’. Dialog menghadirkan dua narasumber yakni Yunita Suryani, M.Pd Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban dan Ahmad Athoillah Pemred Radar Tuban. Acara ini disiarkan secara langsung.

Sebelum memulai dialog interaktif, Ketua RPS Khoirul Huda menyampaikan bahwa dialo interaktif ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan HPN 2025 yan digelar RPS. Sebab, sebelumnya sudah dilaksanakan penanaman pohon dan santunan anak yatim.

‘’Puncaknya nanti pada 23 Februari nanti akan digelar senam Poudfit yang akan digelar di Taman Hutan Kota Tuban Abipraya,’’ ujarnya.

Dalam setiap kegiatan RPS untuk memeringati HPN selalu ada penanaman pohon dan santunan anak yatim. Hal ini menurut dia, adala agenda waji yang harus dilakukan, agar RPS selalu dekat dan masyarakat dan alam.

Terkait dengan dialog interaktif, Huda mengajak agar masyarakat bisa memilih dan memilah berita yan benar dan mana yang tidak benar. Sebab, saat ini sulit dibedakan mana yang berita dan mana yang sekadar informasi. Sehingga wartawan punya peran untuk memberikan informasi pada masyarakat agat tidak mengonsumsi berita yan tidak benar.

‘’Sekaligus kami membuka diri untuk dikritik dan diberi masukan oleh banyak pihak selama menjalankan profesi jurnalis,’’ katanya.

Dia meminta agar masyarakat jangan sampai termakan dengan berita-berita yang tidak benar. Dialog yang disiarkan secara langsung itu sekaligus otokritik untuk wartawan. Sebab, wartawan bukan antikritik.

“Apakah kami sudah sesuai apa belum dengan aturannya monggo dikritik, beri masukan agar kami bisa berkembang,’’ tandasnya.

Hal yang sama disampaikan Kabid Komunikasi dan Informasi Publik Rita Zahara yang mewakili Kepala Dinas Komunikasi Informatika, Statistik dan Persandian Tuban. Ia meminta agar wartawan selalu menjaga kode etik, berkembang sesuai dengan teknologi dan menyajikan berita-berita yang berkualitas dan independen.

Dia melihat selama ini komunikasi dan hubungan antara wartawan dengan Pemkab cukup baik dan pemberitaan berimbang.

‘’Harap harap itu bisa terus terjaga dan komunikasi yan baik tetap terjaga. Berikan masyarakat informasi-informasi yang berkualitas,’’ harapnya.

Pada sesi dialog, mengawali paparannya yang pertama Yunita Suryani mengatakan, bahwa masyarakat saat ini cenderung menggantungkan informasi dari internet. Padahal tak semuanya yang disajikan dalam internet benar. Misalnya mencari resep masakan, bisa dengan gambar diperoleh dengan tutorial yang lengkap.

“Tapi tidak semua benar, karena saya pernah tersesat saat membuktikan memraktikkan salah satu resep, tapi hasilnya tak sesuai, sehingga apa yang disampaikan itu tidak enar,’’ tuturnya.

Hal yang sama dilakukan saat mencari judul-judul atau malakah untuk referensi menulis karya ilmiah. Saat dicari dengan kata kunci tertentu, maka keluar banyak artikel dan data-data yang seolah-olah itu benar.

‘’Tapi seketelah kami tanyakan pada yang lebih ahli, dijawab bahwa judul-judul itu tidak ada, penulisnya juga tidak sesuai. Nah, kalau hal itu diambil dan dikutip, artinya kesalahan itu terus berkembang,’’ ungkap dia.

Karena itu, Yuni mengatakan kurangnya literasi bisa berbahaya, karena gak semua benar. Apalagi untuk akademisi dan pelaku dunia pendidikan sangat perlu literasi, bisa memahami dan menggunakan teknologi dengan baik.

‘’Jangan menelan mentah-mentah informasi yang disediakan internet. Parahnya, generasi muda sekaran seneng mendapat informasi instan, serba instan. Harus dicek lagi misalnya mencocokkan dengan buku atau jurnal, kan sekarang banyak buku elektronik,’’ sebutnya.

Maka Yunita berfikir harus ada sebuah terobosan. Akademisi, dunia pendidikan, mahasiswa harus diarahkan atau disediakan ruang untuk membuat konten-konten yan bermanfaat, atau konten-konten edukasi yang memberikan literasi untuk masyarakat.

Sementara Athoillah menambahkan, literasi bukan sekadar membaca dan menulis, namun memberikan pemahaman dan mementuk masyarakat bisa mmbaca dengan berbagai sudut pandang dan multiperspektif atas segala persoalan.

‘’Sekarang para pemuda kehilangan ini,’’ ujarnya.

Masyarakat, kata dia, saat ini juga tidak bisa membedakan media masa dan sosial. Menurutnya ini sangat bahaya. Sebab, media masa dan media sosial adalah dual hal yang berbeda. Media masa berbadan hukum dengan tanggungjawab sesuai aturan atau regulasi yang dimuat dalam UU.

Sedangkan media sosial tak butuh itu. Banyak kasus medias sosial asal comot ayau share-share dan mengambil bahan dari media masa. Misal berita yang diambil dari masa itu salah, dan media sosial sudah menyebarkannya, maka bisa kena pidana.

“’Sementara media masa tidak pidana, karena ada mekanisme hukum sendiri. Ini yang harus dipahami dan dimengerti. Hal itu banyak terjadi karena literasi yang sangat rendah,’’ urainya.

Sementara pers dan literasi menurut Atok adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Peran pers bukan hanya menulis berita, tapi juga memberikan edukasi.

“Maka pers idealnya juga harus harus masuk ke pendidikan karena untuk memberikam edukasi dan literasi,’’ katanya.

Usai dialog interaktif dilanjutkan tumpengan di markas RPS Tuban, di Balai Wartawan Tuban. Selain dihadiri anggota RPS dan keluarga, juga dihadiri perwakilan dari Dinas Kominfo, Statistik dan Persandian Tuban yang dipimpin oleh Kabid Komunikasi dan Informasi Publik Rita Zahara

banner 780X90
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *