banner 728x250

Polemik Putusan MK, Pemisahan Pemilih Nasional-Lokal Disorot Pakar Hukum Tata Negara Unesa Terkait Implikasi Jabatan

  • Bagikan
Mahkamah Konstitusi (Foto : Istimewa)
banner 780X90

Akuratmedianews.com – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilihan umum (pemilu) yang konstitusional dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah atau lokal.

Demikian tertuang dalam putusan nomor 135/PUU – XXII/2024 dan putusan nomor 55/PUU- XVII/2019 yang diajukan oleh perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (Perludem). Putusan tersebut diucapkan dalam sidang pengucapan yang digelar pada kamis (26/6/2025) lalu di ruang sidang pleno MK.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Hananto Widodo menanggapi bahwa adanya tekanan dan inkonsistensi dalam putusan MK terkait pemilihan umum (pemilu) serta model keserentakan pemilu dalam sistem praktik pemerintahan presidensial adalah produk putusan MK Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2019.

Menurutnya, keputusan MK ini berpotensi menimbulkan masalah serius, terutama masa jabatan anggota DPRD berbagai tingkatan baik Provinsi maupun kabupaten/kota.

Hananto menjelaskan bahwa inti permasalahan ini terletak pada permohonan yang diajukan ke MK, sementara kontra itu adalah anggota DPR. Ia pun menyayangkan bahwa argumentasi penolakan DPR ini dinilai kurang kuat, mengingat inkonsistensi yang nyata antar dua putusan tersebut.

“Dalam putusan nomor 55 tahun 2019, MK memberikan beberapa opsi terkait pemilihan umum mulai dari anggota DPR, DPD, Pilpres, Gubernur, hingga bupati/walikota. Artinya, MK memberikan ruang fleksibilitas bagi pembentuk undang-undang untuk menerapkan pilihan-pilihan tersebut,” ujarnya saat ditemui wartawan Akurat Media News di Foodcourt Grand City, Surabaya, Sabtu (28/6/2025).

Hananto mengungkapkan, ditengah proses revisi undang-undang Pemilu yang sedang berjalan, putusan MK nomor 135 ini baru muncul dan justru membatasi pilihan hanya pada antara pemilu nasional dan lokal.

“Dampak paling signifikan dari putusan nomor 135 ini pada implikasinya terhadap masa jabatan anggota DPRD baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota,” kata Pakar Hukum Tata Negara Unesa.

“Bahkan, pemilu lokal yang memilih anggota DPRD dan kepala darah ini minimal harus diadakan 2 tahun atau maksimal 2,5 setelah pemilu nasional,” tambahnya.

Hananto menegaskan bahwa kita melihat DPRD saat ini, masa jabatan seharusnya 2024-2029.

“Namun, jika menggunakan skema dalam putusan MK tersebut, masa jabatan DPRD saat ini menjadi 2024-2031, ini tentu akan menjadi masalah,” tegas Hananto.

Hananto juga menuturkan bahwa dalam teori pemilu, tidak hanya terkait dengan adanya tetapi juga adanya sebuah periodisasi atau berkala dalam 5 tahun.

“Perubahan skema dari 2024-2029 menjadi 2024-2031 ini dinilai melanggar asas tersebut,” tutur Pakar Hukum Tata Negara Unesa.

Lebih lanjut,Hananto menyebutkan bahwa MK ini sebagai konstitusi engineering atau rekayasa konstitusi, yang kemungkinan akan diserahkan kepada legislatif dengan menggunakan rumusan pasal peralihan.

“Namun, isu sekarang adalah itu menabrak dari asas pemilu sendiri yaitu berkala dan periodik. Kalau kita bicara pemilu, kita tidak hanya bicara menabrak asas saja, tapi kita akan bicara menabrak efektivitas dan efisiensi,” sebut dia.

Pakar Hukum Tata Negara Unesa mengakui bahwa alasan MK ini bertujuan mengurangi penyelenggaraan pemilu dan beban rakyat. Hananto mencontohkan, jika pemilu untuk DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota ini dijadikan satu dalam waktu yang bersamaan, beban KPU akan sangat berat dan rakyat akan mengalami kejenuhan.

“Memang tidak masuk akal. Tetapi adalah, apakah ini tidak mengandung implikasi? Kalau kita lihat tadi, itu memang mengandung implikasi jabatan. Dan, indikasinya adalah terkait dengan masa jabatan dari anggota DPRD,” tukas Hananto.

Tak hanya itu, Hananto menyinggung persoalan kepala daerah ini dinilai tidak ada masalah dengan periodisasinya. Ia juga merujuk pada pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah kepala pemerintahan daerah di periodisasinya.

“Artinya, paal 18 ayat 4 berbunyi bahwa pemilihan kepala daerah itu bukan rezim pemilu. Itu tergantung dari open legal policy dari Undang-undang, bisa dipilih langsung oleh rakyat atau DPRD. Ini terserah pembentuk undang-undang,” terang Hananto.

Hananto juga menjelaskan bahwa jika masa jabatan kepala daerah yang awalnya 5 tahun tiba-tiba menjadi 7 tahun, itu sebenarnya tidak masalah karena pemilihan kepala daerah tidak memiliki periodisasi berkala seperti legislatif.

“Kepala Daerah ini berbeda dengan anggota DPRD yang periodisasinya jelas,” imbuhnya.

banner 780X90
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *