banner 728x250

Perwali Disabilitas Kota Surabaya, Langkah Berani Atau Setengah Hati Tanpa Perda?

  • Bagikan
Ketua LIRA Disability Care Abdul Majid. (Foto : Istimewa)
banner 780X90

Oleh. Abdul Majid *)

Pemerintah Kota Surabaya kembali menunjukkan komitmennya terhadap inklusivitas melalui Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Bagi Disabilitas. Perwali ini mengatur berbagai aspek penting, mulai dari aksesibilitas infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, hingga perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas. Namun, di balik ambisi mulia tersebut, sebuah pertanyaan krusial muncul: dapatkah Perwali ini benar-benar efektif tanpa landasan Peraturan Daerah (Perda) yang spesifik tentang penyandang disabilitas?

Penulis memandang Perwali ini sebagai langkah progresif, namun rentan. Kehadiran Perwali Nomor 9 Tahun 2024 patut diapresiasi karena menegaskan komitmen Surabaya sebagai kota inklusif, yang telah diakui sejak 2009. Fasilitas seperti Suroboyo Bus yang ramah disabilitas “meski terdapat banyak catatan permasalahan teknis”, jalur pemandu untuk tunanetra “terdapat hanya di beberapa ruas jalan protocol”, dan pendidikan inklusif di 94 sekolah menjadi bukti nyata. Namun, tanpa Perda sebagai payung hukum yang lebih kuat, kebijakan ini berisiko menjadi macan kertas: gagah di atas kertas, lemah di lapangan.

Celah Hukum Tanpa PERDA Disabilitas

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perwali merupakan peraturan pelaksana yang harus berlandaskan pada peraturan yang lebih tinggi, idealnya Perda. Sayangnya, hingga kini Surabaya belum memiliki Perda spesifik tentang penyandang disabilitas, tidak seperti daerah tetangganya seperti sidoarjo (Perda Nomor 11 Tahun 2024), dan bangkalan (Perda nomor 7 tahun 2018)). Akibatnya, Perwali Nomor 9 Tahun 2024 hanya bersandar pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 70 Tahun 2019, yang cakupannya terlalu umum untuk mengatasi kebutuhan lokal.

Tanpa Perda, Perwali menghadapi sejumlah risiko hukum dan praktis

Pertama, legitimasi Hukum yang Rapuh. Perwali bisa digugat atau dibatalkan jika dianggap melampaui kewenangan Wali Kota, terutama dalam mengatur kewajiban pihak swasta, seperti aksesibilitas gedung atau kuota tenaga kerja disabilitas. Kedua, penegakan yang Lemah. Tanpa Perda, sanksi terhadap pelanggaran (misalnya, diskriminasi atau kegagalan menyediakan aksesibilitas) sulit ditegakkan, karena Perwali tidak memiliki kekuatan mengikat sekuat Perda yang disahkan bersama DPRD kota surabaya.

Ketiga, anggaran Tidak Terjamin: Perda biasanya mengikat alokasi APBD untuk program disabilitas. Tanpa ini, pendanaan untuk infrastruktur ramah disabilitas atau pelatihan vokasi bisa terhambat.

Dampak Bagi Komunitas Disabilitas

Bagi sekitar 6.144 penyandang disabilitas di Surabaya (data 2023), Perwali ini menawarkan harapan, tetapi juga kekecewaan. Komunitas seperti Lira Disability Care kerap mendengar keluhan tentang trotoar yang tidak ramah tuna netra, minimnya ubin pemandu, akses terbatas ke layanan public, sulitnya mencari pekerjaan yang proper hingga masalah kemiskinan kronis yang masihbanyak menghinggapi disabilitas di surabaya. Meskipun Perwali mengatur pemberdayaan, tanpa Perda, koordinasi antarinstansi dan keterlibatan publik cenderung lemah. Musrenbang inklusif yang melibatkan komunitas disabilitas memang ada, tetapi tanpa Perda, aspirasi ini sulit diterjemahkan ke dalam kebijakan yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, penerapan aksesibilitas di Suroboyo Bus masih menyisakan masalah, seperti belum aksesnya bus bagi pengguna kursi roda, halte bus yang didesain ala kadarnya, hingga kurangnya pelatihan bagi sopir bus dan wira-wiri dalam melayani penumpang disabilitas. Tanpa Perda yang mengatur mekanisme pengawasan dan evaluasi, perbaikan ini bergantung pada kemauan politik semata.

Langkah Konstruktif Kedepan

Kritik ini bukan untuk meragukan niat baik Pemkot Surabaya, melainkan untuk mendorong kebijakan yang lebih kokoh dan inklusif. Penulis mengusulkan beberapa langkah: Pertama, segera Susun Perda Disabilitas. Pemkot perlu berkolaborasi dengan DPRD untuk menyusun Perda yang mengatur alokasi anggaran, mekanisme penegakan, dan keterlibatan komunitas disabilitas.

Kedua, libatkan Komunitas Secara Aktif. Gelar konsultasi publik dengan organisasi penyandang disabilitas untuk memastikan Perwali dan calon Perda mencerminkan kebutuhan nyata. Ketiga, Perkuat pengawasan. Bentuk tim independen untuk memantau implementasi Perwali, termasuk evaluasi aksesibilitas infrastruktur dan layanan publik.

Keempat, alokasi Anggaran Khusus. Pastikan APBD mengalokasikan dana memadai untuk program disabilitas, seperti pelatihan kerja dan peningkatan infrastruktur.

Perwali Nomor 9 Tahun 2024 adalah langkah berani Pemkot Surabaya untuk mewujudkan kota inklusif. Namun, tanpa Perda sebagai landasan, kebijakan ini ibarat rumah tanpa pondasi: rentan roboh saat diuji badai hukum atau tantangan implementasi.

Sebagai bagian dari komunitas penyandang disabilitas dan akademisi kebijakan publik, saya mengajak semua pemangku kepentingan—Pemkot, DPRD, dan masyarakat—untuk bersama-sama membangun Surabaya yang benar-benar ramah disabilitas, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga di hati dan realitas sehari-hari.

*) Abdul Majid, Penulis adalah Ketua LIRA Disability Care (LDC) dan Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya. 

banner 780X90
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *