banner 728x250

Lewat Sehelai Waktu Herry Menikmati Mata Air Sunyi

  • Bagikan
banner 780X90

Judul Buku   : Mata Air Sunyi

Penulis          : Herry Lamongan

Penerbit         : Lensa Publishing, Lamongan

Cetakan         : Pertama, Januari 2025

Tebal              : vii+106 halaman

Sebuah puisi seringkali lahir dari keadaan yang tenang dan sunyi sebagaimana yang diutarakan oleh  banyak penyair. Namun, bukan kesunyian itu sendiri yang menjadi bahan untuk jadi sebab terlahirnya sebuah puisi, akan tetapi lebih pada momen puitik atau peristiwa baik yang berasal di luar maupun peristiwa di dalam. Dan itulah momen puitik yang ditangkap oleh tiap-tiap penyair.

Peristiwa di luar berkaitan  dengan fakta dan konteks yang terikat dengan ruang dan waktu. Peristiwa di dalam adalah endapan peristiwa dan kenangan yang tersimpan di benak seseorang yang sewaktu-waktu muncul ketika berpapasan dengan momen puitik. Beberapa puisi di antologi ini kelahirannya memadukan dua peristiwa tersebut.

Sepanjang perjalanan kekaryaannya, penyair yang pada tahun 2024 mendapat anugerah kesetiaan berkarya selama empat puluh tahun dari  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), tetap konsisten mengangkat tema  sangkan paran sebagai manusia dalam puis-puisinya.

Menghayati peristiwa sepanjang waktu  tertentu bisa malam, pagi, siang maupun senja. Bagaimana sebuah peristiwa dihadirkan lewat larik kata-kata yang sublim mengajak kita untuk mencari maknanya dengan tafakur.

Puisi Mas Herry,  begitu saya memanggilnya, sederhana dan pendek-pendek susunan kata dalam larik-lariknya. Namun demikian, dengan susunan kata yang pendek tersebut memancing pembaca untuk sejenak tidak melewatkan begitu saja apa yang terkandung di dalamnya.

Puisi-puisi Mas Herry banyak menyuarakan rindu untuk kembali menemui sang Maha Kekasih. Setelah berjibaku dengan riuh dunia yang penuh senda gurau ini perasaan untuk menyadari sebuah perjalanan menujuNya menjadi tema pokok antologi ini. Dalam antologi ini ada sebuah puisinya yang amat kental dengan tema itu adalah Megatruh Akar.

menjauh jua tubuh dari jiwa

ke dekap tanah

megatruh akar kaki-kaki langit

megatruh hening air mata

puisi abadi

(hal. 15)

Banyak puisi Mas Herry yang mengungkapkan bahwa perjalanan hidup manusia ini hanyalah perjalanan singkat yang tak lebih hanya sekedar mampir ngopi dan untuk pada akhirnya kita hanya jadi ingatan sejarah ketika sudah berkalang tanah.

…..

kita hanya sejenak tinggal di sini

mampir ngopi, mampir sepi

di kaki lima, lalu

waktu menepisnya lunglai

di tepi sejarah

(Kapur Tulis Terakhir. hal 2)

Itulah beberapa puisi yang tercipta karena dorongan peristiwa di dalam, yang digubah penyairnya, karena pengalaman yang dimilikinya bersinggungan dengan momen puitik tertentu. Diksi diksinya seolah terlepas dari ikatan waktu. Ia bisa hadir di waktu kapan saja karena tak mengacu pada saat tertentu. Inilah kelebihan yang dimiliki Herry Lamongan yang menjadikan puisinya seperti tak pernah usang  dibaca kapan saja.

Melalui metafor dan imaji yang dekat dengan keseharian kita, Mas herry seolah mengajak kita untuk mewaspadai hidup yang gemerlap ini. Keindahan yang sebenarnya hanyalah mengingatkan kita untuk menyadari bahwa kita semua sedang proses  bersandar ke pelabuhan abadi.

Bahasa Merah Pada Senja

Lengkung langit dan garis laut

berjabat tangan sepanjang cakrawala

alangkah indah

mengirim senja warna merah ke tepian

ke hampar

tempatku bersila

arah jauh

berkilauan

memantulakn cahaya pada ombak

ke tepian

arah jauh

berpendar-pendar

mengantar perahu layar

pulang bersama angin

ke tambatan

(hal. 20)

Dan untuk puisi yang lahir dari konteks peristiwa di luar diri penyair kebanyakan digubah dalam bentuk puisi kontemplatif atas pembacaan peristiwa aktual misalnya perang di Ukraina, Haji, Kota dan  puisi yang ditujukan sebagai obituari bagi seseorang.

Berita kematian seorang kawan memicu munculnya  momen puitik bagi mas herry untuk digubah menjadi puisi.  Di antara beberapa puisi itu, ada salah satu yang  ditulis sebagai obituari buat Umbu Landu Paranggi,

Tanah Air Segala Sumba

setiap kali sabana merumput depan benakku

jalan puisi terbentang jauh sampai entah

engkau menempuh segala derap segala kuda

……..

jejakmu tak pernah jauh dari akar

pada saat rimbun maupun bunga-bunga mewarna angkasa

tiba-tiba lampu diam dini hari

membikin sembab tanah air segala sumba. 

Kita lihat diksi Sabana, derap kuda, lampu, dini hari, sembab dan Sumba menjalin membentuk citra daerah asal Umbu yang menggugah pembaca untuk mengingat sosok Umbu Landu Paranggi. Dan tiba tiba kesedihan dihadirkan oleh Mas Herry dengan citra kesunyian dini hari lewat pijar lampu yang diam dan mungkin juga mati tak bercahaya menangis mengenang Umbu.  Selamat Membaca.

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan, Puisi dan Guritnya tersebar di Kompas.id, KBAnews.com, Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di pustaka ekspresi.com, Panyebar semangat, Jaya baya, dan Djaka lodang. Dan Solo Pos.  Bisa di hubungi diagusbuchori@gmail.com.

banner 780X90
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *