Judul Buku : Mata Air Sunyi
Penulis : Herry Lamongan
Penerbit : Lensa Publishing, Lamongan
Cetakan : Pertama, Januari 2025
Tebal : vii+106 halaman
Sebuah puisi seringkali lahir dari keadaan yang tenang dan sunyi sebagaimana yang diutarakan oleh banyak penyair. Namun, bukan kesunyian itu sendiri yang menjadi bahan untuk jadi sebab terlahirnya sebuah puisi, akan tetapi lebih pada momen puitik atau peristiwa baik yang berasal di luar maupun peristiwa di dalam. Dan itulah momen puitik yang ditangkap oleh tiap-tiap penyair.
Peristiwa di luar berkaitan dengan fakta dan konteks yang terikat dengan ruang dan waktu. Peristiwa di dalam adalah endapan peristiwa dan kenangan yang tersimpan di benak seseorang yang sewaktu-waktu muncul ketika berpapasan dengan momen puitik. Beberapa puisi di antologi ini kelahirannya memadukan dua peristiwa tersebut.
Sepanjang perjalanan kekaryaannya, penyair yang pada tahun 2024 mendapat anugerah kesetiaan berkarya selama empat puluh tahun dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), tetap konsisten mengangkat tema sangkan paran sebagai manusia dalam puis-puisinya.
Menghayati peristiwa sepanjang waktu tertentu bisa malam, pagi, siang maupun senja. Bagaimana sebuah peristiwa dihadirkan lewat larik kata-kata yang sublim mengajak kita untuk mencari maknanya dengan tafakur.
Puisi Mas Herry, begitu saya memanggilnya, sederhana dan pendek-pendek susunan kata dalam larik-lariknya. Namun demikian, dengan susunan kata yang pendek tersebut memancing pembaca untuk sejenak tidak melewatkan begitu saja apa yang terkandung di dalamnya.
Puisi-puisi Mas Herry banyak menyuarakan rindu untuk kembali menemui sang Maha Kekasih. Setelah berjibaku dengan riuh dunia yang penuh senda gurau ini perasaan untuk menyadari sebuah perjalanan menujuNya menjadi tema pokok antologi ini. Dalam antologi ini ada sebuah puisinya yang amat kental dengan tema itu adalah Megatruh Akar.
menjauh jua tubuh dari jiwa
ke dekap tanah
megatruh akar kaki-kaki langit
megatruh hening air mata
puisi abadi
(hal. 15)
Banyak puisi Mas Herry yang mengungkapkan bahwa perjalanan hidup manusia ini hanyalah perjalanan singkat yang tak lebih hanya sekedar mampir ngopi dan untuk pada akhirnya kita hanya jadi ingatan sejarah ketika sudah berkalang tanah.
…..
kita hanya sejenak tinggal di sini
mampir ngopi, mampir sepi
di kaki lima, lalu
waktu menepisnya lunglai
di tepi sejarah
(Kapur Tulis Terakhir. hal 2)
Itulah beberapa puisi yang tercipta karena dorongan peristiwa di dalam, yang digubah penyairnya, karena pengalaman yang dimilikinya bersinggungan dengan momen puitik tertentu. Diksi diksinya seolah terlepas dari ikatan waktu. Ia bisa hadir di waktu kapan saja karena tak mengacu pada saat tertentu. Inilah kelebihan yang dimiliki Herry Lamongan yang menjadikan puisinya seperti tak pernah usang dibaca kapan saja.
Melalui metafor dan imaji yang dekat dengan keseharian kita, Mas herry seolah mengajak kita untuk mewaspadai hidup yang gemerlap ini. Keindahan yang sebenarnya hanyalah mengingatkan kita untuk menyadari bahwa kita semua sedang proses bersandar ke pelabuhan abadi.
Bahasa Merah Pada Senja
Lengkung langit dan garis laut
berjabat tangan sepanjang cakrawala
alangkah indah
mengirim senja warna merah ke tepian
ke hampar
tempatku bersila
arah jauh
berkilauan
memantulakn cahaya pada ombak
ke tepian
arah jauh
berpendar-pendar
mengantar perahu layar
pulang bersama angin
ke tambatan
(hal. 20)
Dan untuk puisi yang lahir dari konteks peristiwa di luar diri penyair kebanyakan digubah dalam bentuk puisi kontemplatif atas pembacaan peristiwa aktual misalnya perang di Ukraina, Haji, Kota dan puisi yang ditujukan sebagai obituari bagi seseorang.
Berita kematian seorang kawan memicu munculnya momen puitik bagi mas herry untuk digubah menjadi puisi. Di antara beberapa puisi itu, ada salah satu yang ditulis sebagai obituari buat Umbu Landu Paranggi,
Tanah Air Segala Sumba
setiap kali sabana merumput depan benakku
jalan puisi terbentang jauh sampai entah
engkau menempuh segala derap segala kuda
……..
jejakmu tak pernah jauh dari akar
pada saat rimbun maupun bunga-bunga mewarna angkasa
tiba-tiba lampu diam dini hari
membikin sembab tanah air segala sumba.
Kita lihat diksi Sabana, derap kuda, lampu, dini hari, sembab dan Sumba menjalin membentuk citra daerah asal Umbu yang menggugah pembaca untuk mengingat sosok Umbu Landu Paranggi. Dan tiba tiba kesedihan dihadirkan oleh Mas Herry dengan citra kesunyian dini hari lewat pijar lampu yang diam dan mungkin juga mati tak bercahaya menangis mengenang Umbu. Selamat Membaca.
Agus Buchori
Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan, Puisi dan Guritnya tersebar di Kompas.id, KBAnews.com, Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di pustaka ekspresi.com, Panyebar semangat, Jaya baya, dan Djaka lodang. Dan Solo Pos. Bisa di hubungi diagusbuchori@gmail.com.