IAkirat Media News Surabaya – Isu reshuffle pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berhembus kencang, terlebih pasca polemik kamus sejarah Indonesia Jilid II yang ditengarai ‘menghilangkan’ nama sang Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Pendiri NU yang Wafat pada 7 Ramadhan 1366 Hiriyah lalu, merupakan tonggak sejarah resolusi jihad. Saat itu, pemilik gelar Pahlawan Nasional tersebut menggelorakan fatwa jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945.
Fatwa jihad inilah yang merupakan cikal bakal meledaknya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945 dan menjadi alasan mengapa Indonesia tetap merdeka hingga saat ini.
Namun nama yang sangat tidak populer dengan sejarah kemerdekaan, yaitu Gubernur Belanda Van Mook dan tokoh komunis Henk Sneevliet, justru masuk dalam ‘kamus tersebut’
Fakta tersebut, disikapi sangat kritis oleh aktivis millenial nahdliyyin yang juga dikenal aktif bersuara tentang urgensi pembelajaran tatap muka, yaitu Ning Lia Istifhama.
Lia Istifhama, perempuan yang meraih gelar Doktoral Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut dengan tegas menjelaskan pentingnya menjaga kelangsungan sejarah bangsa bagi generasi mendatang.
“Istilahnya su’ul adab, perangai yang buruk kalau kita yang hidup sekarang bisa merasakan hidup enak tanpa penindasan penjajah, tapi kita tidak mau tahu sejarah asli Bangsa ini. Kalau kita sendiri enggan menjaga kelangsungan sejarah bangsa, maka apa kata generasi mendatang? Jangan salahkan kalau anak-anak tidak lagi memiliki sikap menghormati nenek moyangnya kalau calon nenek moyangnya sendiri, sudah ngajari tidak benar,” tegas Lia Istifhama,
Ning Lia pun dengan gamblang pentingnya pemilihan Mendikbud yang tepat.
“Kalau dikaitkan Islam, ada istilah ‘li kulli zaman wal makan’, yang artinya kita harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tempat. Namun, bukan berarti jadi dilupakan nilai mulia pendidikan. Bahwa pendidikan bukan dunia selebritas. Jangan yang dpilih kelak adalah orang-prang yang populer di pemberitaan hanya karena mereka pintar melihat situasi. Tapi dilihat detail, ini pendidikan, mau tidak mau yang diutamakan indikator kecintaan pada pendidikan,” papar Lia Istifhama.
Menurut Lia Istifhama, ada banyak indikator kecintaan pada pendidikan. Diantaranya, memiliki pendidikan tinggi dan bergelar Guru Besar atau Profesor.
“Mengapa ini saya sampaikan? Karena Gelar Guru Besar itu prosesnya hanya bisa dilalui oleh mereka yang mau mengabdikan waktunya secara penuh untuk pendidikan. Tidak mungkin ujug-ujug gelar itu diraih. Guru Besar banyak yang tidak tampil di pemberitaan karena mereka fokus dengan mengajar. Nah, mutiara terpendam seperti ini yang penting untuk dicari,” katanya.
Tak lupa, Putri Alm. KH Masykur Hasyim, tokoh NU yang pernah melekat dengan sebutan singa podium, menyebutkan pentingnya Tokoh NU yang dipilih sebagai Mendikbud.
“Kalau ingin sejarah kemerdekaan Indonesia tidak hilang ditelan masa, maka bangkitkan spirit resolusi jihad. Bila perlu, calon Mendikbud adalah dari NU karena sejarah kemerdekaan tak lepas dari peran mujahid NU saat itu. Dan ini akan menjadi ungkapan terimakasih kita pada jasa para pahlawan. Apa sih salahnya berbuat baik? Toh, banyak sekali Tokoh NU yang sangat peduli pendidikan saat ini,” tegasnya Ning Lia. (Sugik )