Akuratmedianews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka kasus korupsi pada perkara pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) khususnya kepada PT. Petro Energy (PTPE).
Pada jumpa pers Plh. Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo menyampaikan bahwa KPK telah melakukan penyelidikan perkara pemberian fasilitas kredit oleh LPEI ini pada bulan Maret tahun 2024.
Kemudian per tanggal 20 Februari 2025 berdasarkan Keputusan Pimpinan Nomor 308 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor 08, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PTPE.
“Jadi, untuk bulan Maret ini, KPK telah menetapkan 5 orang tersangka, sedangkan 10 debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan lanjut untuk kemudian nantinya akan kita tetapkan dan sampaikan juga sebagai tersangka,” kata Budi Sukmo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/3/2025) lalu.
Hasil dari penetapan tersangka dalam kasus ini, KPK mengumumkan lima orang tersangka. Diantaranya adalah Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana 1 LPEI, Arif Setiawan selaku Direktur Pelaksana 4 LPEI, Jimmy Masrin selaku pemilik dari PT Petro Energy, Newin Nugroho selaku Direktur Utama PT Petro Energy, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku Direktur Keuangan PT Petro Energy.
“Ini adalah lima orang yang per tanggal 20 Februari 2025 ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) khususnya kepada PT. Petro Energy (PTPE),” imbuhnya dalam keterangan resmi diterima oleh redaksi, Rabu (5/3/2025).
Budi Sukmo juga menjelaskan pada konferensi tersebut bahwa sejak Maret 2024 KPK telah membuka penyelidikan terhadap kurang lebih 11 debitur yang diberikan kredit oleh LPEI, adapun total kredit yang diberikan dan juga menjadi potensi kerugian keuangan negara akibat pemberian kredit tersebut sebesar Rp 11,7 Triliun.
“Saya jelaskan bahwa sejak 2024 bulan Maret KPK telah melakukan penyelidikan terhadap kurang lebih 11 debitur yang diberikan kredit oleh LPEI, adapun total kredit yang diberikan dan juga menjadi potensi kerugian keuangan negara akibat pemberian kredit tersebut adalah kurang lebih Rp 11,7 triliun,” jelasnya.
Adapun alur pencairan kredit oleh LPEI kepada PTPE ini dibagi menjadi 3 termin pemberian sejak tahun 2015 hingga tahun 2017.
“Nah ini dibagi menjadi tiga termin pemberian yaitu, kredit pertama di tgl 2 Oktober 2015, kurang lebih Rp 297 milyar. Kemudian top up lagi di 19 Februari 2016 sebesar Rp 400 milyar, kemudian di top up lagi di tanggal 14 September 2017 sebesar Rp 200 milyar. Jadi total kurang lebih Rp 900 milyar atau kurskan dalam USD kurang lebih 60 juta USD,” tambahnya
Bersamaan dengan itu, Budi juga menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan kasus pemberian kredit kepada PTPE telah ditemukan berbagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh direktur LPEI maupun dari PTPE sendiri.
“Para direksi dari LPEI ini mengetahui bahwa Current Ratio PTPE ini dibawah 1, atau tepatnya 0,86 sehingga hal ini menyebabkan laba perusahaan yaitu PTPE sebagai sumber penambahan aset lancar, tidak bertambah. Sehingga akan mengalami kesulitan apabila nanti melakukan pembayaran terhadap kredit yang diberikan oleh LPEI atau singkatnya pendapatannya lebih kecil daripada tanggungan yang harus ditanggung kepada LPEI,” jelas Budi.
Kemudian lebih parah daripada itu, PTPE ini membuat kontrak palsu yang dijadikan dasar ketika mengajukan kredit kepada LPEI. Hal ini diketahui juga oleh direksi dari LPEI karena mereka tidak melakukan inspeksi dan pengecekan bahkan mengabaikan masukan dari pihak analisis ataupun bawahan dari direktur LPEI itu sendiri.
“Sudah diberikan masukan oleh pihak analisis ataupun bawahan dari direktur LPEI bahwa PTPE ini sebenarnya tidak layak untuk menerima kredit karena kondisi keuangan yang tidak baik, bahkan PTPE sendiri juga memalsukan Purchase order (PO) maupun invoice tagihan yang digunakan saat melakukan pencairan di LPEI, ini adalah semua palsu,” tukas Budi
“Namun tidak diindahkan oleh para direktur yang mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap dikeluarkannya kredit tersebut. Semua sudah terkonfirmasi dari saksi-saksi dan dokumen yang kita temukan, maupun barang bukti eletronik hasil dari device yang kita temukan baik dari komputer maupun dari percakapan handphone, semuanya terrecord bahwa itu semua palsu ataupun fiktif,” pungkasnya.