pada Februari 2021 kemarin, buku Mahakarya Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari cetakan kedua telah terbit.
Buku bilingual Arab-Indonesia setebal 754 halaman tersebut disambut sangat baik oleh beragam kalangan, baik dari tokoh pesantren, akademisi, penulis muda, bahkan aktivis perempuan.“Saya menyambut baik atas terbitnya buku ini.
Semoga kita dapat terus belajar, mengkaji, meneladani dan menyebarkan ajaran Hadratussyaikh kepada masyarakat luas. Semoga kita semua dapat percikan energi positif, mampu meneladani beliau dan meneruskan cita-cita perjuangan beliau”, tulis KH Abdul Hakim Machfud, pengasuh Pesantren Tebuireng.“Di tengah krisis moralitas yang sedang melanda bangsa Indonesia, kembali belajar kepada ajaran para guru bangsa menjadi suatu hal yang sangat penting.
Figur Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh bangsa yang super lengkap,” jelas Gus Fahmi Amrullah Hadzik, cucu sang Hadratussyaikh.“Banyak nilai keteladanan yang bisa diambil dari beliau. Bukan saja dari kalangan pesantren, tapi kalangan masyarakat umum termasuk millenial dan para profesional.
Pandangan Hadratussyaikh sangat aplikabel dan relevan bagi kita semua,” jelas Gus Irfan Wahid, pendiri Tebuireng Initiatives.Ketiga komentar tersebut terdapat pada cover belakang buku kumpulan karya sang Hadratussyaikh yang sebelumnya terbukukan dalam kitab irsyadussari tersebut.
Banyak aktivis Nahdliyyin yang mengakui bahwa buku sang Hadratussyaikh adalah referensi teladan bagi mereka, diantaranya adalah Gus Yusuf Hidayat (Ketua Barisan Gus dan Santri Surabaya), Gus Darwis Sulaiman (Sekretaris Jenderal ormas MADAS – Madura asli), dan ning Dr. Lia Istifhama (penulis dan aktivis perempuan).“Bagi saya, buku Hadratussyaikh penting untuk menguatkan literasi ke NU-an, terutama bagi kalangan millenial yang semakin kritis mengkaji persoalan Islam kontemporer”, jelas Gus Yusuf.
Sedangkan Gus Darwis memberikan penekanan pentingnya buku ini menjaga kultur NU di tengah hetrogenitas pemikiran terkait perspektif Islam.Senada dengan mereka, Ning Lia menjelaskan pendapatnya:“Begitu buka buku ini, jujur saya trenyuh sekali. Pertama, ini merupakan mahakarya sosok panutan kita semua. Kedua, buku ini sekaligus menjadi sebuah referensi bagi kita untuk belajar bahasa Arab.
Saya jadi ingat nuansa pondok pesantren saat membaca kitab-kitab huruf phegon. Ketiga, buku ini adalah obat dari kehausan yang tak henti dari kita semua yang merupakan pencari ilmu. Ada sebuah ungkapan harapan dari sang Hadratussyaikh bahwa buku ini dibuat dengan pertimbangan agar para santri memiliki panduan tentang adab mencari ilmu”, jelas putri KH. Masykur Hasyim tersebut.“Pada bab pertama, kita disuguhkan dengan kajian tentang keutamaan ilmu dan ulama.
Secara detail, terdapat keistimewaan mengajar dan belajar. Kajian yang ditulis oleh sang Hadratussyaikh dipenuhi dengan kutipan Al-Qur’an, Al-Hadis, para fuqaha’ dan ulama salaf. Pada bab kedua dikaji tentang akhlak murid. Kajian ini sangat penting karena membangun akhlak adalah kebutuhan saat ini.
Kita harus mengakui, bahwa perkembangan jaman yang ditandai dengan pesatnya digitalisasi, memiliki dampak beragam. Ini jika tidak dijaga dengan bangunan akhlak, dikhawatirkan akan mengurangi keberkahan ilmu. Sedangkan ilmu yang berkah adalah jaminan generasi bangsa yang sehat”, pungkasnya.
Response (1)